Jakarta – Keputusan Pengadilan Internasional PCA di
Denhag tentang Laut China Selatan LCS
bersifat mengikat namun China dengan tegas dari awal sudah menolak, mulai dari
kewenangan lembaga arbitrase (PCA)
tersebut maupun proses dan keputusan yang diambil oleh PCA.
Hal ini diungkapkan Pengamat Sosial Politik Nasional dan
pemerhati masalah pertahanan Rahman Sabon Nama pada redaksi melalui siaran
persnya kepada redaksi Rabu (13/7).
Menurutnya, dengan keputusan PCA tersebut pemerintah
Indonesia dalam hal ini Menteri Luar Negeri dan Menteri Pertahanan RI perlu melakukan antisipasi sikap dan tindakan
pemerintah RRT selanjutnya.
“Mereka China saat ini
sangat mengandalkan kekuatan militer dan ekonominya sehingga saat ini sudah mengeluarkan buku putih
tentang Laut China Selatan,” terang
Rahman dalam siaran tersebut.
Ia pun meminta agar Presiden Joko Widodo lebih serius
melihat kondisi dan sikap China ini, karena bagi Rahman kondisi ini merupakan
salah satu ancaman pertahanan yang harus dihadapi selain ancaman dari pihak
lain di dalam maupun di luar negeri.
“Berkaitan dengan hal tersebut, maka langkah yang harus
dilakukan dan dilaksanakan oleh
pemerintahan presiden Joko Widodo -JK adalah
Indonesia sebagai negara dengan meratifikasi UNCLOS-1982 agar Menlu
Retno Marsudi segera membuat pernyataan
yg lebih tegas dan konkrit, tidak hanya sekedar pernyataan menghormati
keputusan PCA dan menjaga stabilitas kawasan, namun perlu dalam butir2
pernyataannya harus menyebutkan bahwa
"dengan keputusan PCA, maka segala pelanggaran kedaulatan dan hak
berdaulat di wilayah perairan Natuna dan ZEEnya akan dilaksanakan tindakan yang
tegas sesuai hukum laut internasional,” Rahman menjelaskan.
Berikut hal-hal yang perlu dilakukan oleh beberapa
pihak menurut Rahman:
2). Menteri Pertahanan
dan Bappenas agar segera melaksanakan pembangunan infrastruktur
pertahanan di Natuna baik Dermaga, lapangan terbang maupun fasilitas pertahanan
lain,
3). Panglima TNI agar perintahkan Panglima TNI AL dan TNI AU laksanakan patroli
udara/laut secara rutin dan menempatkan KRI yg memiliki kemampuan tempur handal
untuk setiap saat standby di Natuna, namun tidak perlu terprovokasi dengan
manuver2 kapal China,
“Selain kekuatan alutsista Kementrian Pertahanan juga sangat membutuhkan perbaikan anatomis
berupa penguasaan dan pemanfaatan drone dan teknologi keantariksaan berupa
satelit pertahanan, disamping itu menurutnya bahwa sesuai ketentuan hak berdaulat
di ZEE maka KKP, TNI AL / Badan Keamanan Laut RI BAKAMLA segera laksanakan
pemanfaatan WPP-RI di kawasan Natuna dengan mengerahkan kapal2 ikan ,bukan
sekedar kapal nelayan sederhana untuk menangkap ikan dan di lindungi oleh KRI
dan kapal Bakamla. Dan saya ingat pada
Pemerintah /Presiden Joko Widodo agar perlu lebih hati2 dalam melaksanakan
kerjasama ekonomi dan bidang lain terutama teknologi pertahanan dengan China
karena akan beresiko terhadap
kepentingan nasional,dan semua pejabat pemerintah harus satu kata dan
tindak berkaitan dengan manuvra pihak China dlm bidang diplomasi,” Rahman
kembali menjelaskan.
Dengan demikian, ia pun menyarankan Menlu Retno agar
Kemlu untuk perlu penguatan hukum terhadap klaim unilateral ZEEI, perlu
dilakukan pendepositan peta NKRI dan titik2 koordinatnya ke UN DOALOS & Sekjen
PBB, disamping itu Kemlu dan Kumham RI perlu segera merevisi UU No.5 tahun 1983
ttg ZEEI & UU No.1 tahun 1973 ttg Landas Kontinen sesuai UNCLOS 1982 dan
perlu menambahkan koordinat titik2 zonasi perairan NKRI,demikian tutur Rahman
Sabon Nama menanggapi pernyataan pemerintah Indonesia terkait putusan PCA di
Denhag Belanda atas gugatan pemerintah Philina terkait klaim Laut China Selatan
oleh RRT.
Komentar