![]() |
Moch. Efendi, SH / Ketua AMOI |
Aliansi Media Online & Telekomunikasi Indonesia
Keberhasilan pembangunan ekonomi di era 4 tahun kepemimpinan Pakde Karwo-Gus Ipul sangat mudah dievaluasi secara kasat mata dan dengan pendekatan ekonomi kuantitatif. Di masa awal pemerintahan duet KarSa (Februari 2009), tingkat pertumbuhan ekonomi Jatim mencapai 5,01%. Pada tahun 2010 naik ke level 6,68%, tahun 2011 mencapai 7,22%, dan tahun 2012 lalu mencapai angka 7,27%. Tingkat pertumbuhan ekonomi Jatim di tahun 2012 lebih tinggi dibanding angka pertumbuhan ekonomi nasional yang mencapai 6,23%. "Kita terus mendorong angka pertumbuhan ekonomi Jatim pada 2013 ini bisa menyentuh 7,5%," kata Pakde Karwo pada satu kesempatan.
Pertumbuhan ekonomi merupakan indikator utama. Masih ada indikator makro ekonomi lain bersifat kuantitatif yang bisa dilihat sebagai petunjuk kemajuan atau kemunduran satu provinsi. Indikator itu adalah produk domestik regional bruto (PDRB). Pada 2008, tingkat PDRB Jatim mencapai Rp 619 triliun, tahun 2009 sebesar Rp 684 triliun, tahun 2010 mencapai Rp 778 triliun, tahun 2011 sebesar Rp 884 triliun, dan tahun 2012 menembus angka psikologis sebesar 1.001 triliun. Tak banyak provinsi di Indonesia yang angka PDRB-nya mencapai Rp 1.000 triliun lebih. Selain Jatim, provinsi lain yang mencapai prestasi itu adalah DKI Jakarta.
"Kita juga terus menekan angka inflasi di Jatim. Pada tahun 2010 tingkat inflasi di Jatim mencapai 6,96% dan tahun 2012 lalu mampu kita tekan ke level 4,50%," jelas Pakde Karwo. Sebagai provinsi yang terus mengalami akselerasi pembangunan ekonomi, di Jatim terjadi pergeseran struktur ekonomi yang mengalami titik pertumbuhannya. Pada 2012, angka pertumbuhan sektor perhotelan, perdagangan dan restoran mengalami pertumbuhan tertinggi di level 30,40%, sedangkan industri manufaktur sebesar 27,11%, dan pertanian sebesar 15,42%.
"Dengan potret PDRB kita di tahun 2012 yang mencapai Rp 1.000 triliun lebih, Jatim memberikan kontribusi kepada PDB (nasional) sebesar 14,68%. DKI Jakarta memang tetap tertinggi dengan 16,32%. Tapi, ke depan kita sangat mungkin mengejar DKI Jakarta dalam kaitan kontribusi Jatim terhadap PDB nasional," tegas Pakde Karwo. Provinsi lainnya di Pulau Jawa kontribusinya terhadap PDB nasional masing-masing: Jabar dengan 14,30%, Jateng dengan 8,28%, Banten dengan 3,19%, dan DI Yogyakarta dengan 0,86%.
"Dengan asumsi pertumbuhan ekonomi Jatim pada 2013 sebesar 7,5%, kita hitung besar PDRB kita pada tahun itu mencapai Rp 1.136 triliun. Sedangkan pendapatan per kapita mencapai Rp 30,69 juta. Pada tahun sebelumnya (2012), tingkat pendapatan per kapita penduduk Jatim sebesar Rp 27,19 juta," jelas Pakde Karwo.
Salah satu prasyarat penting dalam mendukung iklim investasi yang bisa mengakselerasi geliat dan pertumbuhan ekonomi Jatim adalah besaran angka ICOR (Incremental Capital Output Ratio). ICOR adalah syarat yang harus dipenuhi supaya suatu perekonomian dapat mencapai pertumbuhan yang teguh atau steady growth dalam jangka panjang. Pertumbuhan itu sendiri bisa direalisasikan dengan mengikuti rumus matematis Harrod- Domar melalui pemupukan tabungan nasional (kapitalisasi) yang terus- menerus. ICOR adalah suatu besaran yang menunjukkan besarnya tambahan kapital (investasi) baru yang dibutuhkan untuk menaikkan / menambah satu unit output. ICOR dapat merefleksikan besarnya produktifitas kapital yang pada akhirnya menyangkut besarnya pertumbuhan ekonomi yang bisa dicapai.
Nilai ICOR yang rendah menunjukkan bahwa tingkat efisiensi investasi di daerah atau negara tertentu sangat tinggi, sehingga realitas itu mampu mendorong masuknya investasi baru dalam skala lebih besar dan lebih luas. Artinya, ketika angka ICOR grafiknya bergerak mengecil, angka efisiensi investasinya makin bagus dan sebaliknya.
Bagaimana dengan tingkat ICOR Jatim? Data tahun 2009 menunjukkan besaran ICOR Jatim mencapai 3,59%. Tahun 2010 bergerak ke level 3,3%, dan tahun 2011 lalu turun lagi ke tataran 3,09%. Artinya, dalam tempo 3 tahun kepemimpinan Pakde Karwo-Gus Ipul, tingkat ICOR Jatim menguat 0,50% dari level 3,59% menuju 3,09%. Tingkat ICOR Jatim itu lebih baik dibandingkan ICOR provinsi lainnya di Pulau Jawa maupun nasional. Di mana tingkat ICOR DKI Jakarta sebesar 4,7%, Banten dengan 4,8%, dan nasional dengan 4,6%. Sejumlah negara industri baru dan kategori negara maju baru seperti Korsel, Jepang, dan Taiwan tingkat ICOR-nya mencapai 3,2%. "Dengan tingkat ICOR yang makin menguat, kita yakin iklim perekonomian Jatim makin kondusif selain didorong tersedianya infrastruktur yang relatif lengkap di provinsi ini," jelas Pakde Karwo.
Realitas indikator ICOR Jatim yang makin membaik itu bisa dilihat dari laju pertumbuhan investasi (baik PMA maupun PMDN) di provinsi ini dalam 5 tahun terakhir. Data yang ada menunjukkan pada 2008, tingkat realisasi investasi di Jatim mencapai Rp 34,09 triliun, tahun 2009 dengan 46,86 triliun, tahun 2010 dengan 82,58 triliun, tahun 2011 dengan 110,47 triliun, dan tahun 2012 dengan 133,43 triliun. Terjadi peningkatan angka investasi sebesar 20,78% pada tahun 2012 dibanding 2011.
Nyaris tak ada sektor ekonomi publik yang tak ada di Jatim. Namun demikian, provinsi berpenduduk 38 juta jiwa lebih ini dikenal pula sebagai penyangga kebutuhan pangan nasional (dalam arti luas). Realitas itu tak mungkin dinafikan Pemprov Jatim dalam mendesain program pembangunannya. Pakde Karwo mengatakan, cukup banyak komoditas pertanian dan peternakan yang dikontribusikan Jatim untuk memenuhi kebutuhan nasional.
Data yang ada menunjukkan, rata-rata peranan Jatim dalam penyediaan pangan nasional untuk padi sebesar 17,48%, jagung dengan 33,98%, kedelai dengan 40,47%, kacang tanah dengan 29,79%, buah-buahan dengan 23,96%, sayuran dengan 13,79%, susu dengan 57,04%, daging dengan 32%, telur dengan 40%, dan gula dengan 51,38%. Lebih dari 50% jumlah pabrik gula di Indonesia berada di Jatim. Pabrik gula itu ada yang semi modern dan modern. Ada yang dibangun di era pemerintahan Kolonial Belanda dan era pemerintah RI. Ke semua pabrik gula itu masih operasional dan mampu meningkatkan produksinya dari tahun ke tahun. Tingkat rendemen sejumlah pabrik gula di Jatim juga terus meningkat.
"Semua ikhtiar ekonomi dan pembangunan itu tak ada artinya kalau tak terjadi penurunan angka kemiskinan di Jatim. Dan kita telah mengupayakan dengan kerja keras agar penduduk miskin itu terus berkurang. Hal itu telah berhasil kita lakukan," tandas Pakde Karwo. Pada tahun 2009 lalu, jumlah penduduk miskin di Jatim mencapai 6,022 juta jiwa (16,68%), tahun 2010 turun menjadi 5,529 juta jiwa (15,26%), tahun 2011 turun lagi ke angka 5,356 juta jiwa (14,23%), dan tahun 2012 turun ke level 4,960 juta jiwa (13,08%). "Artinya, dalam 4 tahun ini kita telah menurunkan angka kemiskinan sebesar 3,60%," kata Pakde Karwo.
Menurunkan angka kemiskinan itu, menurut Pakde Karwo, bukan pekerjaan mudah. Terlebih ketika persentase angka kemiskinan itu telah berada di level di bawah 10%. Sebab, tak tertutup kemungkinan angka persentase kemiskinan itu telah masuk kategori kemiskinan struktural dan kultural. "Misalnya, ada penduduk desa yang dalam bekerja sehari mendapatkan penghasilan Rp 20 ribu dan mereka merasa cukup, ya sangat berat mendorong bekerja lebih lagi dengan pendapatan lebih besar dari Rp 20 ribu. Mungkin mereka berpendapat dengan penghasilan sebesar itu sudah cukup dipakai untuk membeli sebungkus rokok dan menutup kebutuhannya," jelas Pakde Karwo.
Diambil dari berbagai sumber
Komentar